KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kehadirat Allah SWT karena
berkat rakhmat, taufik dan hidayah Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini, dengan judul “Kemunduran Tiga Kerajaan Besar (1700-1800 M)”.
Pada
kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam memberikan saran dan pendapat sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Penulis
juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan, maka dalam kesempatan ini pula penulis mohon saran dan pendapat serta keritikan yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya
penulis mengucapkan semoga Allah SWT melimpahkan rakhmat dan hidayahNya kepada
kita semua sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin Ya
Robbal Alamin.
Curup,
3 Oktober 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………….1
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………2
BAB
I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………3
1.1
Latar Belakang………………………………………………………………………...3
1.2
Rumusan Masalah…………………………………………………………………….4
1.3
Tujuan…………………………………………………………………………………4
BAB
II PEMBAHASAN………………………………………………………………………….5
2.1 Kemunduran Kerajaan Safawi…………………………………………………..……5
2.2 Kemunduran Kerajaan Mughal………………………………………………………7
2.3 Kemunduran Kerajaan
Usmani……………………………………………………..10
2.4 Kemajuan Eropa Barat……………………………………………………………...15
BAB
III KESIMPULAN…………………………………………………………………………17
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………………18
BAB I
PENDAHULUAN
Kemunduran
Tiga Kerajaan Besar (1700-1800 M)
1.1 Latar Belakang
Setelah Khalifah Abbasiyah di
Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami
kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya
tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling
memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur
akibat serangan bangsa Mongol itu. Namun, kemalangan tidak berhenti disitu,
Timur Lenk sebagaimana telah disebut mengahancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam
yang lain.
Setelah Bani Abbas mengalami kehancuran, umat Islam bangkit
kembali dengan adanya Kerajaan-Kerajaan Usmani, Mughal dan Safawi.
Kerajaan-Kerajaan tersebut merupakan riga kerajaan terbesar pada masa itu. Puncak
kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Usmani terjadi pada masa pemerintahan
Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520-1566 M), puncak kemajuan Kerajaan Safawi pada
masa pemerintahan Abbas I (1588-1628 M), dan puncak kemajuan Kerajaan Mughal
pada masa Sultan Akbar (1542-1605 M). Setelah masa tiga orang raja besar di
tiga kerajaan tersebut, kerajaan tersebut mulai mengalami kemunduran. Akan
tetapi, proses kemunduran itu berlangsung dalam kecepatan yang berbeda-beda. Di
Kerajaan Mughal, setelah Akbar, untuk beberapa lama pemerintahan masih dipegang
oleh raja-raja besar, yaitu Jehengir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M)
dan Aurangzeb (1658-1707 M) Ketiga raja Mughal ini masih dapat mempertahankan
kemajuan yang dicapai pada masa Akbar. Baru setelah Aurangzeb, Kerajaan Mughal
mengalami kemunduran yang agak drastis. Kerajaan ini berakhir pada tahun 1858
M.
Kerajaan
Usmani, setelah Sultan Sulaiman al-Qanuni wafat masih tetap kuat, bahkanmasih
mampu melakukan ekspansi ke beberapa daerah Eropa Timur. Berbeda dengan dua
kerajaan besar yang lain, Kerajaan Usmani adalah yang terbesar. Karena itu,
meskipun banyak mengalami kemunduran yang cukup drastis di akhir abad ke-17 dan
abad ke-18 M, ia tetap dipandang sebagai sebuah Negara besar yang disegani
lawan. Kerajaan ini baru berakhir pada abad ke 20-M.
Kemunduran
yang paling drastis di alami Kerajaan Safawi. Setelah Abbas, raja-raja Kerajaan
Safawi adalah orang-orang yang lemah yang mengakibatkan kerajaan ini dengan
cepat mengalami kemunduran. Hanya satu abad setelah ditinggal Abbas, kerajaan
ini mengalami kehancuran.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah
yang penulis bahas dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah kemunduran tiga
kerajaan besar tersebut yaitu Kerajaan
Safawi, Mughal, dan Usmani?”
1.3 Tujuan
Tujuan
dari makalah ini adalah “untuk mengetahui bagaimana kemunduran tiga kerajaaan besar tersebut
yaitu kerajaan Safawi, Mughal, dan Usmani”.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN KERAJAAN
SAFAWI
Sepeninggal
Abbas I Kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi
Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husain
(1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III (1733-1736 M). pada masa
raja-raja tersebut kondisi Kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan
berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa pada
kehancuran.
Safi
Mirza, cucu Abbas I, adalah seorang pemimpin yang lemah. Ia sangat kejam
terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena sifat pencemburunya. Kemajuan yang
pernah dicapai Abbas I segera menurun. Kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah
Afghanistan) lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh Kerajaan
Mughal yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syeh Jehan, sementara Baghdad
direbut oleh Kerajaan Usmani. Abbas II adalah raja yang suka minum minuman
keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Meskipun demikian dengan bantuan
wazir-wazirnya, pada masanya kota Qandahar dapat direbut kembali. Sebagaimana
Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para
pembesar yang dicuriagainya. Akibatnya, rakyat bersikap masa bodoh terhadap
pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yang alim. Pengganti Sulaiman ini
memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan
pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan
golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri
kekuasaan dinasti Safawi.
Pemberontakan
bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali pada tahu 1709 M dibawah pimpinan
Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi
di Herat, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti
oleh Mir Mahmud sebagai penguasa Qandahar. Ia berhasil mempersatukan pasukannya
dengan pasukan Ardabil. Dengan kekuatan
gabungan ini, Mir Mahmud berusaha memperluas wilayah kekuasaannya dengan
merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi. Ia bahkan berusaha
menguasai Persia.
Karena
desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir
Mahmud dan mengangkatnya sebagai gubernur di Qandahar dengan gelar Husein Quli
Khan (Budak Husein). Dengan pengakuan ini Mir Mahmud menjadi lebih leluasa
bergerak. Pada tahun 1721 M, ia dapat merebut Kirman. Tak lama kemudian ia dan
pasukannya menyarang Isfahan, mengepungnya selama enam bulan dan memaksa Shah
Husein untuk menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 oktober 1722 M, Shah Husein
menyerah dan 25 oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
Salah
seorang putra Husein, bernama Tahmasp II, dengan dukungan penuh dari suku Qazar
dari Rusia, memptoklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas
Persia dengan pusat kekuasaanya di kota Astarabad. Pada tahun 1726 M Tahmasp II
bekerja sama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir
bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, mengganti Mir Mahmud, yang
berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729
M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian, dinasti
Safawi kembali berkuasa. Namun pada bulan agustus 1732 M Tahmasp II dipecat
oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas II (anak Tahmasp II) yang ketika itu
masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu tepatnya 8 maret 1736 Nadir Khan
mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian
berakhirlah kekuasaan dianasti Safawi di Persia.
Diantara
sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi ialah kinflik
berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Bagi kerajaan Usmani, berdirinya
kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap
wilayah kekuasaanya. Konflik antara dua kerajaan tersebut berlangsung lama,
meskipun pernah berhenti sejenak ketika tercapai kedamaian pada masa Shah Abbas
I. namun tak lama kemudian Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu
dapat dikatakan tidak ada lagi perdamaian antara dua kerajaan besar islam itu.
Penyebab
lainnya adalah dekadensi moral yang melamda sebagian para pemimpin kerajaan
Safawi. Ini turut mempercepat proses kehancuran kerajaan tersebut. Sulaiman,
disamping pecandu berat narkotik juga menyenangi kehidupan malam beserta
harem-haremnya selama tujuh tahun tanpa sekalipun menyempatkan diri menangani
pemerintahan begitu pula Sultan Husein.
Penyebab
penting lainnya dalah karena pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh
Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizil Bash hal ini
disebabkan karena pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak
melalui proses pendidikan rohani seperti yang dialami oleh Qizil Bash.
Sementara itu, anggota Qizil Bash yang baru ternyata tidak memiliki militansi
dan semangat yang sama dengan anggota Qizil Bash sebelumnya.
Tak
kalah penting dari sebab-sebab diatas adalah seringnya terjadi konflik intern
dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.
2.2 KEMUNDURAN KERAJAAN MUGHAL
Setelah
satu setengah abad dinasti Mughal berada dipuncak kejayaanya, para pelanjut
Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh
sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 kerajaan ini memasuki masa-masa
kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan di ringkat
pusat menjadi perebutan, gerakan separatis Hindu di India Tengah, Sikh di
belahan Utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam.
Sementara itu, ,para pedagang Inggris yang untuk pertama kali diizinkan oleh
Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata
semakin kuat menhuasai wilayah pantai.
Pada
masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul,
tetapi dapat diatasi. Pemberintakan itu bermula dari tindakan-tindakan
Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setelah ia
wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang
ditinggalkannya.
Sepeninggal
Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua
Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul. Putra Aurangzeb ini
kemudian bergelar Bahadur Syah (1707-1712 M). ia menganut aliran Syi’ah. Pada
masa pemerintahan yang berjalan selam lima tahun, ia dihadapkan pada perlawanan
Sikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya. Ia juga dihadapkan pada perlawanan
penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau memaksakan ajaran Syi’ah kepada
mereka.
Setelah
Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi perebutan
kekuasaan di kalangan keluarga istana. Bahadur Syah diganti oleh anaknya ,
Azimus Syah. Akan tetapi, pemerintahannya ditentang oleh Zulfiqar Khan, pitra
Azad Khan, wazir Aurangzeb. Azimus Syah meninggal pada tahun 1712 M, dan
diganti oleh puteranya Jihandar Syah. Yang mendapat tantangan dari Farukh Siyar,
adiknya sendiri. Jihandar Syah dapat disingkirkan oleh Farukh Siyar tahun 1713
M.
Farukh
Siyar berkuasa sampai tahun 1719 M dengan dukungan kelompok Sayyid, tapi tewas
ditangan para pendukungnya sendiri (1719 M. Sebagai gantinya, diangkat Muhammad
Syah (1719-1748 M). namun ia dan pendukungnya terusir oleh suku Asyfar di bawah
pimpinan Nadir Syah yang sebelumnya telah berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi
di Persia. Keinginan Nadir Syah untuk menundukkan Kerajaan Mughal terutama
karena Kerajaaan Mughal terutama karena menurutnya, kerajaan ini banyak sekali
memberikan bantuan kepada pemberontak Afghan di daerah Persia. Oleh karena itu
pada tahun 1739 M, du tahun setelah menguasai Persia, ia menyerang kerajaan
Mughal. Muhammad syah tidak dapat bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir
Syah. Muhammad Syah kembali berkuasa di Delhi setelah ia bersedia member hadiah
yang sangat banyak kepada Nadir Syah. Kerajaan Mughal baru dapat melakukan
restorasi kembali, terutama setelah jabatan wazir dipegang oleh Qilich Khan
yang bergelar Nizam al-Mulk (1722-1732 M) karena mendapat dukungan dari
Marathas. Akan t etapi, tahun 1732 M Nizam al-Mulk meninggalkan Delhi menuju
Hiderabad, dan menetap di sana.
Konflik-konflik
yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah.
Pemerintahan daerah satu-persatu melepaskan loyalitasnya dari pemerintahan
pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing.
Hiderabad dikuasai Nizam al-Mulk, Marathas dikuasai Shivaji, Rajput
menyelenggarakan pemerintahan sendiri dibawah pemerintahan pimpinan Jai Singh
dari Amber, Punjab dikuasai kelompok Sikh. Oudh dikuasai oleh Sadat Khan,
Bengal dikuasai Syuja’ al-Din, menantu Mursyid Qulli, penguasa Bengal yang
dipimpin Aurangzeb. Sementara wilayah-wilayah pantai banyak yang dikuasai para
pedagang asing terutama EIC dari inggris.
Desintegrasi
wilayah kekuasaan Mughal ini semakin diperburuk oleh sikap daerah, yang
disamping melepaskan loyalitas terhadap pemerintah pusat, juga mereka
senantiasa menjadi ancaman serius bagi eksistensi dinasti Mughal itu sendiri.
Setelah
Muhammad Syah meninggal, tahta kerajaan dipegang oleh Ahmad Syah. (1748-1754),
kemudian diteuskan oleh Alamghir II (1754-1759 M), dan kemudian dilanjutkan
oleh Syah Alam (diserang oleh Ahmad Khan Durrani dari Afghan. Kerajaan Mughal
tidak dapat bertahan dan sejak itu Mughal berada dibawah kekuasaan Afghan,
meskipun Syah Alam tetap didizinkan memakai gelar Sultsn.
Ketika
Kerajaan Mughal memasuki keadaan yang lemah seperti ini, pada tahun itu juga,
perusahaan Inggris (EIC) yang sudah semakin kuat mengangkat senjata melawan
pemerintahan Kerajaan Mughal. Peperangan berlangsung berlarut-larut. Akhirnya,
Syah Alam membuat perjanjian damai dengan menyerahkan Oudh, Bengal, dan Orisa
kepada Inggris. Sementara itu, Najib al-Daula, wazir Mughal dikalahkan oleh
aliansi Sikh-Hindu, sehingga Delhi dikuasai Sindhia dari Marathas. Akan tetapi,
Sindhia dapat dihalau kembali oleh Syah Alam dengan bantuan Inggris (1803 M).
Syah
Alam meninggal tahun 1806 M. tahta kerajaan selanjut nya dipegang oleh Aknar II
(1806-1837 M). pada masa pemerintahannya Akbar member konsensi kepada EIC unruk
mengembangkan usahanya di anakk benua India sebagaimana yang diinginkan
Inggris, tapi pihak perusahaan harus
menjamin kehidupan raja dan keluarga istana. Dengan demikian, kekuasaan sudah
berada di tangan Inggris, meskipun kedudukan dan gelar Sultan dipertahankan. Bahadur
Syah (1837-1858), penerus Akbar tidak menerima isi perjanjian antara EIC dengan
ayahnya itu, sehingga terjadi konflik antara kedua kekuatan tersebut.
Pada
waktu yang sama pihak EIC mengalami kerugian. Karena penyelenggaraan
administrasi perusahaan yang kurang efisien, padahal mereka harus tetap
menjamin kehidupan istana. Untuk menutupi kerugian dan sekaligus memenuhi
kebutuhan istana, EIC mengadakan pungutan tyang tinggi terhadap rakyat secara
ketat dan cenderung kasar. Karena rakyat merasa ditekan, maka mereka baik yang
beragama hindu maupun islam bangkit mengadakan pemberontakan. Mereka meminta
kepada Bahadur Syah untuk menjadi lambing perlawanan itu dalam ramgka
mengembalikan kekuasaan Kerajaan Mughal di India. Dengan demikian, terjadilah
perlawanan rakyat India terhadap kekuatan Inggris pada bulan Mei 1857 M.
Perlawanan
mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena Inggris mendapat dukungan dari
beberapa penguasa local Hindu dan Muslim. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman
yang kejam terhadap pemberontak. Mereka di usir dari kota Delhi, rumah-rumah
Ibadah banyak yang dihancurkan., dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir, di
usir dari Istana (1858 M). Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan dinasti
Mughal di daratan India, dan tinggallah umat Islam di sana yang harusberjuang
mempertahankan eksistensi mereka.
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu mundur pada satu setengah abad terakhir, dan membawa
kepada kehancuran pada tahun 1858 M yaitu ;
1. Terjadi
stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di
wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritime
Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan darat. Bahkan mereka kurang terampil dalam
mengoperasikan persenjataan buatan Mughal sendiri.
2. Kemerosotan
moral dan hidup mewah dikalangan elite politik, yang mengakibatkan pemborosan
dalam penggunaan uang Negara.
3. Pendekatan
Aurangzeb yang terlampau “kasar” dalam melaksanakan ide-ide puritan dan
kecendrungan asketisnya, sehingga konflik antar agama sangat sukar di atasi
oleh sultan-sultan sesudahnya.
4. Semua
pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir adalah orang-orang yang lemah dalam
bidang kepemimpinan.
2.3 KEMUNDURAN KERAJAAN USMANI
Setelah
Sultan Sulaiman al-Qanuni wafat (1566 M),kerajaan Turki Usmani mulai memasuki
fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan
kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman al-Qanuni diganti
oleh Salim II (1566-1573 M). di masa pemerintahannya terjadi pertempuran antara
armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari
angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan
sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol.
Pertempuran itu terjadi di selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini Turki
Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh.
Baru pada masa Sultan berikutnya, Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian
jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya. Kerajaan Usmani pada masanya
berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai
Tiflis di laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabriz, ibu kota Safawi,
menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia, dan mengalahkan
gunernur Bosnia pada tahun 1593 M. namun kehidupan moral sultan yang jelek
menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri. Kakacauan ini makin manjadi-jadi
dengan tampilnya Sultan Muhammad III (1595-1603 M), pengganti Murad III, yang
membunuh semua saudara laki-lakinya yang berjumlah 19 orang dan menenggelamkan
janda janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi. Dalam situasi
yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani. Meskipun Sultan
Ahmad I (1603-1617 M), pengganti Muhammad III, sempat bangkit untuk memperbaiki
situasi dalam negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa
Eropasudah mulai memudar. Sesudah sultan Ahmad I (1603-1617 M), situasi makin
memburuk dengan naiknya Mustafa I (masa pemerintahannya yang pertama)
(1617-1618 M) dan kedua, (1622-1623 M). Namun yang tersebut terakhir ini juga
tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian bangsa Persia bangkit
mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak
mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut.
Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai di usahakan oleh Sultan Murad IV
(1623-1640 M). pertama-tama ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan.
Pasukan Jenissari yang pernah menumbangkan Usman IIdapat dikuasainya. Akan
tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi
Negara secara keseluruhan.
Situasi
politik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan
Ibrahim (1640-1648M), karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini
orang-orang Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil mengusir
orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. kekalahan itu
membawa Muhammad Koprulu (berasal dari Koprulu dekat Amasia di Asia Kecil) ke
kedudukan sebagai wazir atau shadr
al-a’zham (perdana menteri) yang diberi kekuasaan absolute. Ia berhasil
mengembalikan peraturan dan mengkonsolidasikan stabilitas keuangan Negara.
Setelah Koprulu meninggal, (1661 M), jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim.
Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih sama sekali. Karena
itu, ia kalah dalam pertempuran itu secara berturut-turut. Pada masa-masa
selanjutnya wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas
dari kekuasaannya, direbut oleh Negara-negara Eropa yang baru mulai
bangun. Pada tahun 1699 M terjadi
“perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria,
sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada Hapsburg ; dan Hemenietz, Padolia,
Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Venetia. Pada tahun
1770 M, tentara Rusia mengalahkanarmada Kerajaan Usmani di sepanjang pantai
Asia Kecil. Akan tetapi tentara rusia ini dapat dikalahkan kembal ioleh Sultan
Mustafa III (1757-1774 M) yang segera dapat mengkonsolidasi kekuatannya.
Sultan
Mustafa III diganti oleh saudaranya Sultan Abd al-Hamid (1774-1789 M), seorang
yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja ia mengadakan
perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Kinarja” dengan Catherine II dari Rusia.
Isi perjanjian tersebut antara lain (1) Kerajaan Usmani harus menyerahkan
benteng-benteng yang berada di Laut HItam kepada Rusia dan member izin kepada
armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut
Putih, dan (2) Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).
Demikianlah
proses kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani selama dua abad lebuh setelah
ditinggal Sultan Sulaiman al-Qanuni. Tidak ada tanda-tanda membaik sampai paroh
pertama abad ke-19 M. Oleh karena itu satu persatu negeri-negeri di Eropa yang
pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri di
Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang memberontak terhadap kekuasaan
Kerajaan Usmani, tetapi juga beberapa daerah di Timur Tengah, mencoba bangkit
memberontak. Di Mesir, kelemahan-kelemahan Kerajaan Usmani membuat Mamalik
bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M Mamalik
kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari perancis
pada tahun 1798 M. di Libanon dan Syiria, Fakhr al-Din, seorang pemimpin Druze,
berhasil menguasai Palestina, dan pada tahun 1610 M merampas Ba’albak dan
mengancam Damaskus. Fakhr al-Din baru menyerah tahun 1635 M. Di Persia,
Kerajaan Safawi ketika masih jaya beberapa kali mengadakan perlawanan terhadap
kerajaan Usmani dan beberapa kali pula ia ia keluar sebagai pemenang. Sementara
itu, di Arabiah bangkit kekuatan baru, yaitu aliansi antara pemimpin agama Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang dikenal
dengan gerakan Wahhabiyah dengan penguasa lokal ibn Sa’ud. Mereka berhasil
menguasai beberapa daerah di Jazirah Arab dan sekitarnya di awal paroh kedua
abad ke-18 M. Dengan demikian, pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Kerajaan
Usmani ketika ia sedang mengalami kemunduran,
bukan saja terjadi di daerah-daerah yang tidak beragama Islam, tetapi
juga di daerah-daerah yang berpenduduk muslim. Gerakan gerakan seperti it
uterus berlanjut dan bahkan menjadi lebih keras pada masa-masa sesudahnya,
yaitu pada abad ke -19 dan ke-20 M. Di
tambah dengan gerakan pembaharuan di pusat pemerintahan, kerajaan Usmani
berakhir dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1924 M.
Banyak
faktor yang menyebabkan Kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, di antaranya adalah :
1.
Wilayah kekuasaan yang
sangat luas
Administrasi
pemerintahan bagi suatu negara yang sangat luas wilayahnya sngat rumit dan
kompleks, sementara dministrasi pemerintahan Kerajaan Usmani tidak beres.
Dipihak lain, para penguasa sangat berambisi menguasai wilayah yang sangat
luas, sehingga mereka terlibat perang terus menerus dengan berbagai bangsa. Hal
ini tentu banyak menyedot potensi yang seharusnya dapat digunakan untuk
membangun negara.
2.
Heterogenitas penduduk
Sebagai kerajaan besar,
Turki Usmani menguasai wilayah yang amat luas, mencakup Asia Kecil, Armenia,
Irak, Syiria, Hejaz, dan yaman di Asia ; Mesir, Libya, Tunis, dan Aljazair di
afrika ; dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di
Eropa. Wilayah yang amat luas itu didiami oleh penduduk yang beragam, baik dari
segi agama, ras, etnis, maupun adat istiadat. Untuk mengatur penduduk yang
beragam dan tersebar di wilayah yang luas itu, diperlukan suatu organisasi
pemerintahan yang teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik, Kerajaan
Usmani hanya akan menganggung beban yang berat akibat heterigenitas tersebut.
Perbedaan bangsa dan agma acap kali melatarbelakangi terjadinya pemberontakan
dan peperangan.
3.
Kelemahan para penguasa
Sepeninggalan Sulaiman
al-Qanuni, Kerajaan Usmani diperintah oleh Sultan-Sultan yang lemah, baik dalam
kepribadian terutama, dalam kemimpinannya. Akibatnya pemerintahannya menjadi
kacau. Kekacauan itu tidak pernah dapat di atasi secara sempurna, bahkan
semakin lama semakin parah.
4.
Budaya Pungli
Pungli merupakan
perbuatan yang sudah umum terjadi dalam kerajaan Usmani. Setiap jabatan yang
hendak diraih oleh seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada orang yang
berhak memberikan jabatan tersebut. Berjangkitnya budaya pungli ini
mengakibatkan dekadensi moral kian merajalela yang membuat pejabat semakin
rapuh.
5.
Pemberontakan tentara
Jenissari
Kemajuan ekspansi
kerajaan Usmani banyak ditentukan oleh kuatnya tentara Jenissari. Dengan
demikian dapat dibayangkan bagaimana kalu tentara ini memberontak.
Pemberontakan tentara Jenissari ini terjadi sebanyak rmpat kali, yaitu pada
tahun 1525 M, 1632 M, 1727 M, dan 1826 M.
6.
Merosotnya ekonomi
Akibat perang yang tak
pernah berhenti perekonomian negara merosot. Pendapatan berkurang sementara belanja
negara sangat besar, termasuk biaya untuk perang.
7.
Terjadinya stagnasi
dalam Lapangan Ilmu dan Teknologi
Kerajaan Usmani kurang
berhasil dalam upaya pengembangan ilmu dan teknologi, karena hanya mengutamakan
pengembangan kekuatan militer. Kemajuan militer yang tidak di imbangi oleh
kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan ini tidak sanggup mengahadapi
persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju. Tidak terjadinya perkembangan
ilmu dan pengetahuan dan teknologi dalam Kerajaan Usmani, ada kaitan dengan
perkembangan metode berpikir tradisional
dikalangan umat Islam. Hal itu juga sejalan dengan menurunnya semangat
berpikiran bebas akibat tidak berkembangnya pemikiran filsafat sejak masa
al-Ghazali.
Demikianlah proses kemunduran kerajaan besar Usmani. Pada
masa selanjutnya di periode modern, kelemahan kerajaan ini menyebabkan kekuatan
Eropa tanpa segan-segan menjajah dan menduduki daerah-daerah muslim yang
dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani, terutama di Timur Tengah dan
Afrika Utara.
2.4
KEMAJUAN EROPA (BARAT)
Bersamaan waktunya dengan kemunduran tiga kerajaan Islam di
priode pertengaha sejara Islam, Eropa Barat (biasa disebut dengan “Barat” saja)
sedang mengalami kemajuan dengan pesat. Hal ini berbanding terbalik dengan masa
klasik sejarah Islam. Ketika itu,peradaban Islam dikatakan paling maju
,memancarkan sinar ke seluruh dunia, sementara Eropa sedang berada di dalam
kebodohandan keterbelakangan.
Kemajuan Eropa (Barat) memang bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan dan metode berpikir
islam yang rasional. Di antara saluran masuknya peradaban Islam ke Eropa itu
adalah Perang Salib, Sicilia, dan yangterpenting adalah Spanyol Islam. Ketika
islam mengalami kejayaan di Spanyol, banyak orang Eropa yang datang belajar ke
sana, kemudian menerjemahkan karya-karya ilmiah umat Islam. Hal ini di mulai
sejak abad ke-12 M. Setelah mereka pulang ke negeri masing-masing, mereka
mendirikan Universitas dengan meniru pola Islam dan mengajarkan ilmu-ilmu yang
di ajarkan di Universitas-universitas Islam itu. Dalam perkembangan
selanjutnya, keadaan ini melahirkan renaissance,
reformasi, dan rasionalisme di Eropa.
Gerakan-gerakan renaissance melahirkan perubahan-perubahan
besar dalam sejarah dunia. Abad ke-16 dan ke17 M merupakan abad yang paling
penting bagi Eropa, sementara pada akhir abad ka-17 itu pula dunia islam mulai
mengalami kemunduran. Dengan lahirnya renaissance, Eropa bangkit kembali untuk
mengejar ketinggalan mereka pada masa kebodohan dan kegelapan. Mereka
menyelidiki rahasia alam, menaklukan lautan, dan menjelajahi benua yang
sebelumnya masih diliputi kegelapan. Banyak penemuan-penemuan dalam segala
lapangan ilmu pengetahuan dan kehidupan yang mereka peroleh. Chrostoper
Colombus pada tahun 1492 M menemukan Benua Amerika dan Vasco da Gama tahun 1498
M menemukan jalan ke Timur melelui Tanjung Harapan. Dengan dua temuan ini,
Eropa memperoleh kemajuan dalam dunia perdagangan, karena tidak tergantung
lagikepada jalur lama yang dikuasai umat islam.
Terangkatnya perekonomian bangsa-bangsa Eropa disusul pula
dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan itu semakin dipercepat
setelahmesin uap ditemukan yang kemudian melahirkan revolusi industri di Eropa.
Teknologi perkapalan dan militer berkembang dengan pesat. Dengan demikian,
Eropa menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomI dan
perdagangan dari dan keseluruh dunia, tanpa mendapat hambatan berarti dari
lawan lawan yang masih menggunakan senjata tradisional.
Sementara itu, kemerosotan kaum muslim tidak terbatas dalam
bidang ilmu kebudayaan saja, melainkan juga di segala bidang. Mereka
ketinggalan dari Eropa dalam industri perang, padahal keunggulan Turki Usmani
di bidang ini pada masa masa sebelumnya diakui seluruh dunia.
Dengan organisasi dan persenjataan modern pasukan perang Eropa
mampu melancarkan pukulan telak terhadap daerah daerah kekuasaan Islam, seperti
Kerajaan Usmani ketika berhadapan dengan kekuatan kekuatan Eropa dan Kerajaan
Mughal ketika berhadapan dengan Inggris. Daerah-daerah kekuasaan Islam lainnya
juga mulai berjatuhan ketangan Eropa., seperti Asia Tenggara, bahkan Mesir,
salah satu pusat peradaban Islam yang terpenting diduduki oleh Napoleon
Bonaparte dari Prancis pada tahun 1798 M.
Benturan-benturan antara kerajaan islam dan kekuatan Eropa
itu menyadarkan umat Islam bahwa mereka memang sudah jauh tertinggal dari
Eropa. Kesadran itulah yang menyebabkan umat Islam di masa modern terpaksa
harus banyak belajar dari Eropa. Perimbangan kekuatan antara umat Islam dan
Eropa berubah dengan cepat. Di antara kemajuan Eropa dan kemunduran Islam
terbentang jurang yang sangat lebar dan dalam. Dalam perkembangan berikutnya,
daerah-daerah Islam hampir seluruhnya berada di bawah kekuasaan bangsa Eropa.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
uraian singkat tentang kemunduran tiga kerajaan besar islam yakni Kerajaan
Safawi, Mughal, dan Usmani tersebut, dapat ditari kesimpulan bahwa tiga
kerajaan tersenut merupakan kerajaan islam terbesar, karena dalam waktu kurun
yang panjang setelah Bani Abbas mengalami keruntuhan dengan ditandai jatuhnya
kota Baghdad ke tangan bangsa Mongol pada tahun1258 M, setelah itu umat islam
mengalami kemunduran. Umat Islam bangkit kembali dengan adanya kerajaan Usmani
yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Cina, kemudian Kerajaan Safawi di
Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Akan tetapi, dalam perjalanannya ketiga
kerajaan tersenut mengalami kemunduran ketiga kerajaan tersebut antara lain
adalah : adanya dekadensi moral yang melanda para pemimpin; semua pewaris tahta
kerajaan pada paruh terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang
kepemimpinan, Adanya tradisi korupsi ; perebutan kekuasaan; dan terjadinya
stagnasi militer.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam : Imperium Kaum Turki Usmani, (Jakarta :
Kalam Mulia, 1998)
Carl Brockkmann, History
of the Islamic Peoples, (London : Routledge & Kegan Paul, 1982)
Hamka, Sejarah Umat
Islam, III, (Jakarta : Bulan Bintang, 1981)
Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta : Kota Kembang, 1998)
K. M. Panikar, A Survey
of Indian History, (Bombay: Asia Publishing House, 1957)
S. I. Poeradisastra, Sumbangan
Islam Kepada Ilmu & Peradaban Dunia, (Jakarta: P3M, 1986)
S. M. Ikram, Muslim Civilization in India, (New York :
Columbia University Press)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar